“Kalau hanya karena adanya darah bangsawan mengalir dalam tubuhku sehingga saya harus meninggalkan partaiku dan berhenti melakukan gerakanku, irislah dadaku dan keluarkanlah darah bangsawan itu dari dalam tubuhku, supaya datu dan hadat tidak terhina kalau saya diperlakukan tidak sepantasnya.”
Opu Daeng Risadju ( 1880 – 1964 )
Pada tahun 2006, Opu Daeng Risadju dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Seperti apa perjuangan Opu Daeng Risadju?
Oke, mari berkenalan terlebih dahulu. Opu Daeng Risadju adalah putri pasangan Muhammad Abdullah To Baresseng dan Opu Daeng Mawellu. Dia lahir di Palopo, 1880. Punya nama panggilan Famajjah, Opu Daeng Risadju merupakan gelar kebangsawanan Kerajaan Luwu yang didapatnya setelah menikahi H. Muhammad Daud. Sebagai keturunan bangsawan Luwu, sikap patriotisme tertanam pada dirinya. Dia mempelajari moral yang berlandaskan adat kebangsawanan serta peribadatan dan akidah agama Islam.
Masa kecilnya dihabiskan untuk terbiasa membaca Al-Quran. Dia juga belajar ilmu-ilmu agama seperti Nahwu, Sharaf, dan Balaghah. Suaminya bernama H. Muhammad Yahya, Opu Daeng Risadju mulai aktif di Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Yahya adalah pedagang Sulawesi Selatan yang pernah bermukim lama di Jawa dan mendirikan PSII di Pare-Pare. Setelah bergabung, Opu Daeng Risadju dan suaminya membuka PSII di Palopo pada 14 Januari 1930.
Karena Opu Daeng Risadju berjuang dengan landasan agama, aksinya diawasi Belanda. Dukungan besar dari rakyat membuat Belanda menahan Opu karena dianggap menghasut. Opu pun diadili dan gelar kebangsawanannya dicabut.Tekanan yang juga diterima suami dan keluarganya membuat Opu berhenti dari PSII. Pada 1934, Opu akhirnya dipenjara selama 14 bulan.
Opu kembali aktif pada masa Revolusi. Dia dan pemuda Sulawesi Selatan lainnya ikut serta berjuang melawan NICA yang ingin menjajah Indonesia. Karena keberaniannya dalam melawan NICA, Opu menjadi buronan nomor satu selama NICA di Sulawesi Selatan. Lagi-lagi, dia berhasil ditangkap di Lantoro. Lalu dia dibawa ke Watampone dengan berjalan kaki sepanjang 40 km. Tanpa diadili, Opu Daeng Risadju dipindahkan ke penjara Sengkang dan dibawa ke Bajo.
Saat di Bajo, Opu Daeng Risadju disiksa Kepala Distrik Bajo yang bernama Ladu Kalapita. Dia dibawa ke lapangan sepak bola dan disuruh lari berkeliling dengan diiringi letusan senapan. Setelah itu, Opu disuruh berdiri tegak menghadap matahari. Ludo Kalapita mendekatinya dan meletakkan laras senapan di pundak Opu yang saat itu berusia 67 tahun. Ludo Kalapita meletuskan senapannya sehingga Opu jatuh tersungkur mencium tanah di antara kaki Ludo Kalapita.
Akibat penyiksaan itu, Opu sisa hidupnya menjadi tuli. Setelah pengakuan kedaulatan RI pada 1949, Opu Daeng Risadju pindah ke Pare-Pare mengikuti anaknya. Pada 10 Februari 1964, Opu Daeng Risadju meninggal dunia. Dia dimakamkan di lokasi makam raja-raja Lokkoe di Palopo tanpa upacara kehormatan sebagaimana lazimnya seorang pahlawan.
Penulis : Indah Nur Jannah
Editor : Prihandini